Text
DESERT CHILDREN : Anak-Anak Gurun
Di Indonesia MGP ( Mutilasi Genital Perempuan ) bukan sesuatau yang general, walaupun Waris derie dalam bukunya yang bertajuk Desert children mengemukakan di Asia, tepatnya di Indonesia dan Malaysia terdapat kasus MGP. Waris hanya menyebut Indonesia tanpa spesifikasi yang jelas.
Masyarakat kita mungkin masih banyak belum tau apa itu MGP, dan saya sendiri juga belum tau sama sekali tentang MGP sebelum membaca DESERT CHLIDREN karya Waris derie.
Desert Children merupakan buku yang menceritakan perjuangan Waris dan seorang jurnalis Corinna Milbron dalam memberantas MGP yang telah merabah ke Eropa. Sebelumnya praktek ini hanya ditemukan di kawasan Afrika, Asia dan timur tengah. Diperkirakan lima ratus ribu wanita dan anak-anak perempuan telah mengalami atau beresiko menaglami MGP di kawasan tersebut.
Sebelum saya bercerita lebih lanjut, mungkin anda ingin tahu apa sebenarnya itu MGP. Menurut defenisi yang diberikan organisasi WHO, badan kesehatan dunia yang berpusat di Wasinghton DC mengemukakan mutilasi genitalia perempuan adalah, sebuah istilah untuk semua prosedur dimana genitalia perempuan secara utuh diambil dan dirusak. Apakah itu alasan kebudayaan atau karena alasan lain selain alasan medis.
MGP disebut juga dengan pengkhitanan atau untuk bahasa masyarakat di indonesia untuk pria disebut sunat. Tapi konteks dan tujuan penghiktanan wanita dan pria sangat berbeda.
Pengkhitanan hanya memotong sedikit bagian ujung alat kelamin pria sehingga tidak mengalami kerusakan pada genitalia pria. Dan sunat dianjurkan dan merupakan ajaran dari agama islam yang secara jelas dijabarkan dalam Alquran.
Sangat berbeda dengan pengkhitanan pada wanita, bagian genitalia alat-alat kelamin wanita dipotong dan dirusak sehingga menimbulkan penderitaan fisik dan psikologis yang sangat hebat pada korbanya.
Lagian pengkhitanan pada wanita tidak ada hubunganya dengan agama. Menurut Waris tidak ada satu pun ayat di Alquran yang menegaskan atau menganjurkan penghiktanan pada wanita.
Lalu kenapa MGP dilakaukan dan darimana kah budaya itu berasal?
Bagi komunitas yang mempraktekkanya, MGP dianggap sebuah tradisi yang memiliki akar yang dalam. Dilaksanakan sebagai simbol memasuki masa dewasa, diikuti oleh sebuah perayaan.
MGP dipandang sebagai syarat wajib untuk pernikahan dimana yang tidak dimutilasi dianggap kotor dan disebut pelacur sehingga diasingkan masyarakat.
Dalam bukunya Desert Children, Waris mengemukakan beberapa alasan kenapa MGP dilakukan. Beberapa tujuanya adalah, untuk menjaga kesucian seorang wanita, untuk menjamin keperawanan sampai pernikahan dilangsungkan atau untuk alasan kebersihan, keindahan atau kesehatan.
Di beberapa negara, wanita yang belum dikhitan dipercaya tidak dapat melahirkan dengan alami karena kontak dengan klitoris yang akan membahayakan bayi.
MGP sendiri berasal dari Afrika seperti Togo, Somalia, dan negara Afrika lainya. Desert Children merupakan buku yang menakjubkan. Waris benar-benar berani memaparkan tentang praktek MGP di Eropa dan ia berjuang untuk memberantas praktek ini.
Perempuan menjadi korban utama dari budaya yang mematikan ini. Korban dari MGP akan menglami dampak psikologis yang buruk, mereka akan merasa bahwa harga diri mereka telah ditelanjangi. Mereka juga kesakitan dari segi fisik dan tidak bisa menikmati seks.
Coba anda bayangkan bagaimana jika seorang wanita dimana kutup penutup klitorisnya dipotong secara keseluruhan atau sebagian. Atau seluruh organ genitalia perempuan dipotong yang kemudian diikuti oleh penjahitan bukaan vagina dan hanya menyisahkn lobang kecil ( infibulasi ) lubang yang tersisa menjadi tempat keluarnya urin dan darah menstruasi keluar dari lobang tersebut setetes demi setetes, mengakibatkan si korban harus berbaring berminggu-minggu dengan kedua kaki diikat.
Siapa yang melakukan pengkhitanan?
Secara tradisional, tradisi ini dilakukan tukang khitan wanita. Wanita yang akan dikhitan akan berbaring di atas kasur di sebuah kamar. Si tukang khitan akan bereaksi dengan pisau silet atau pecahan kaca.
Memotong klitoris sebagian atau keseluruhan, ada juga yang mencongkel daging pada lubang vagina. Si korban hanya bisa menjerit dan menangis dengan percikan darah yang mengalir keras. Pengkhitanan merupakan anjuran dari orang tua si korban dengan alasan bahwa mereka hanya ingin yang terbaik untuk putri mereka.
Dalam buku Desert Children, Waris lebih fokus menjabarkan tentang MGP yang dilakukan imigran asal afrika di Eropa, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Austria dan Belanda. Walau MGP dianggap sebagai tardisi yang menyiksa para wanita, tapi masih banyak orang-orang Afrika yang masih mempertahankan praktek MGP kususnya para imigran asal Afrika di Eropa.
Para imigran asal Afrika di Eropa, benar-benar hidup terisolir dari masyarakat di sekitarnya. Hak-hak sipil mereka terabaikan, para imigran itu memang tinggal di Eropa, tapi buadaya, perkumpulan, dan bahasa mereka adalah Afrika.
Jadi jutaan imigran Afrika masih mempertahankan MGP walau mereka tinggal di Eropa. Sementara negara-negara di Eropa belum memiliki peraturan hukum yang jelas tentang MGP. Hal ini akan membuat pelaku MGP lebih lelusa menjalankan praktek MGP. Padahal MGP jelas-jelas merupakan tindakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap wanita.
Melalui goresannya “ Desert children” Waris Derie mengemukakan beberapa kasus MGP di Eropa. Ia dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa ia berjuang untuk memberantas MGP di seluruh dunia.
Sebagai korban MGP Waris sangat merasakan apa yang dialami korban MGP. Ia dikhitan pada usia lima tahun, melarikan diri di tengah gurun dan menjadi top model ternama. Karena pengalamannya itulah Waris semakin agresif untuk membunuh parkatek MGP.
Dalam Desert Children Waris berjuang untuk mempublikasikan prespektifnya tentang MGP. Ia mengemukakan bahwa MGP adalah masalah serius yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Ia mengatakan bahwa MGP bukan budaya tapi penyiksaan dimana korbanya mengalami penderitaan fisik dan fisikis yang sangat hebat. Ia mengiginkan negara-negara Eropa meluluskan undang-undang yang dapat membawa semua pelaku dan kaki tangan mutilasi genitalia ke meja hijau.
Waris berjuang memberikan penyuluhan kepada para orang tua yang masih memuja MGP, supaya mereka menghentikan praktek tersebut karena hanya akan menghadiai penderitaan untuk anak-anak mereka.
Waris juga mengemukakan bahwa para korban MGP harus diperlakukan dengan penuh hormat. Para korban juga harus mendapatkan perawatan operasi gratis untuk mengembalikan kerusakan yang ditimbulkan akibat MGP.
Waris memiliki keberanian yang luar biasa untuk mengangkat tema sensitif bagi orang-orang Afrika. Desert Children menjadi bahan inspirasi bagi siapa pun yang membacanya.
Kita sebagai negara yang tumbuh dan berkembang dari budaya harus lebih transparan dan melakukan suatu pengamatan atau pun testimoni terhadap suatu budaya, karena tidak semua budaya yang diturunkan nenek moyang kita memberikan dampak positif bagi pengikutnya. Dan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman.
MGP merupakan budaya konserfatif yang lahir di Afrika. Budaya yang memberikan dampak negatif bagi para korbannya. Indonesia sebagai negara pluralisme harus lebih terbuka dengan berbagai budaya yang ada di negara kita.
Memberikan akses kepada para penganut suatu budaya untuk mempublikasikan ajaran atau pun ritual kebudayaan mereka, sehingga publik mengetahui karakteristik dan bisa menganalisa apakah suatau budaya itu layak dipertahankan atau tidak.
Budaya akan membuat para penganutnya sensitif dan fanatik, hal itulah yang dialami masyarakat Afrika yang masih mempertahankan MGP sebagai sebuah tradisi.
Mereka sudah merasa terintegrasi dengan budaya mereka. Saya sangat tertarik dengan karya Waris, Desert Children menjadi salah satu inspirasi bagi saya. Dan saya harap akan menjadi inspirasi juga bagi siapa pun yang sudah membacanya.
Hingga saat ini Waries Derie masih berjuang untuk melawan MGP. Dalam Desert Children Waris juga menggambarkan kehidupan imigran asal Afrika di Eropa yang terisolir. Mereka tidak diberi akses atau kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak di tempat mereka tinggal. Mereka menjadi manusia-manusia terasingkan.
Mereka hanya tinggal di Eropa, tapi semuanya masih serba Afrika. Mulai dari bahasa, komunitas sosial, dan budaya. Sehingga para imigran tersebut lebih leluasa dan terbuka untuk mengimplementasikan budaya-budaya yang mereka angkut dari negara asal mereka, termasuk MGP.
Melalui Desert Children Waris memberikan pemahaman kepada kita, bahwa perempuan dijadikan sebagai korban yang mengalami penderitaan psikologis dan fisik yang luar biasa.
Tidaklah logis jika pengkhitanan untuk wanita dipercaya mampu menjaga kesucian seorang wanita, menjamin keperawanan dan lain sebagainya. Itu hanya mitos klasik dari nenek moyang zaman primitif yang tidak memiliki pengetahuan tentang dampak yang dilahirkan tradisi mereka.
Waris derie adalah wanita tangguh dan pemberani, dunia butuh sepuluh atau lebih wanita seperti dia untuk membrantas MGP. Ia memaparkan kepada dunia bahwa MGP telah membantai wanita secara fisik maupun fisikis dan massif.
Waris ingin dunia membuka mata terhadap praktek MGP. Melelui bukunya Desert Children, ia berharap bola bisa bergulir, MGP bisa dibrantas, dan negara-negara dunia dimana MGP diprektekkan memberikan peraturan hukum yang jelas.
Hingga saat ini Waris masih berjuang untuk memberantas MGP, melalui yayasan yang ia kelola. Jika anda ingin mencari informasi lebih spesifik mengenai pekerjaan yayasan waris derie dan kampanye-kampanye yang sedang ia lakukan kunjungi websitenya, https://www.desertflowerfoundation.org/, sudah selayaknya kita memberikan kontribusi dan dukungan kepada Waries dalam memberantas MGP sehingga bisa dipastikan tak ada lagi wanita yang menjadi korban budaya mematikan itu.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain